Studi, Keluarga, dan Kehidupan Sehari-hari: Refleksi PhD ahun Pertama di Birmingham


Sudah genap satu tahun saya menjalani perjalanan akademik sebagai mahasiswa PhD di
University of Birmingham, Inggris. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Seolah baru kemarin saya menjejakkan kaki di kampus dengan semangat bercampur rasa cemas menghadapi tantangan studi doktoral. Rasa bahagia bercampur aduk dengan perasaan cemas, takut, sedih, dan lain-lain.

Tahun Pertama: Fondasi Harus Kuat

Tahun pertama PhD di Inggris adalah fase yang sangat menentukan. School of Government mewajibkan postgraduate researcher (sebutan untuk mahasiswa PhD di sini) untuk menyelesaikan 60 kredit (SKS) modul wajib, yang bukan sekadar formalitas tapi harus bisa lulus. Apabila terdapat modul yang hasil akhirnya tidak memenuhi syarat minimal kelulusan, maka akan diminta untuk mengulang di semester berikutnya. Modul-modul ini membantu memperdalam metodologi penelitian, keterampilan akademik, hingga pemahaman ethics yang menjadi bekal penting bagi seorang peneliti.

Mengikuti kelas, mengerjakan tugas, dan memastikan semua ujian bisa dilalui dengan baik tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, dari sinilah saya belajar manajemen waktu dengan lebih disiplin, sebab beban akademik harus berjalan seiring dengan persiapan riset.

Pada College atau School yang lain bisa jadi memiliki ketentuan yang berbeda. Teman-teman di Natural Science tidak diwajibkan untuk mengambil kelas/modul wajib. Sementara teman-teman seperti di School of Business wajib mengambil modul dari School mereka sendiri, terutama yang mengambil jurusan Economics. Saya sendiri dari School of Government memiliki satu modul yang diwajibkan dari School, yakni Approach to Research in Government. Teman-teman dari School of Social Policy wajib mengambil 60 SKS, tapi tidak memiliki modul wajib dari School mereka.

Finalisasi Proposal Penelitian

Selain menyelesaikan kewajiban akademik, fokus utama tahun pertama adalah finalisasi proposal penelitian. Proses ini tidak mudah dan diperlukan banyak-banyak membaca literatur, menyusun kerangka konseptual, menguji relevansi topik, hingga memastikan metodologi yang dipilih tepat. Saya sering merasa proposal saya belum cukup matang, tetapi justru melalui proses revisi berulang inilah saya belajar berpikir kritis dan mempertajam argumen akademik. Finalisasi proposal bukan hanya soal “menulis”, tetapi juga tentang menemukan arah penelitian yang benar-benar bermakna dan bisa memberi kontribusi pada bidang yang saya tekuni.

Untuk beberapa tugas dalam modul wajib, saya menggunakan bagian-bagian dari proposal penelitian sebagai output yang saya submit sebagai tugas akhir. Hal ini sangat dianjutkan oleh instruktur modul karena output tersebut akan dikritisi dan diberi nilai. Hasil penilaian itu tentu saja menjadi kritik dan masukan atas tulisan pada proposal untuk bisa diperbaiki dalam proses penyempurnaan proposal penelitian.

Supervision Meeting: Ruang Diskusi dan Refleksi

Setiap bulan, saya juga menjalani supervision meeting bersama pembimbing. Pertemuan ini menjadi momen penting untuk melaporkan progres, menguji ide, serta mendapatkan masukan kritis. Awalnya saya merasa gugup setiap kali masuk ruang meeting, takut kalau apa yang saya kerjakan belum cukup. Namun lama-kelamaan saya menyadari bahwa pertemuan ini bukan sekadar evaluasi, melainkan ruang untuk berdiskusi, belajar, dan tumbuh.

Bimibingan dengan supervisors biasanya dilakukan pada pertengahan bulan, tergantung dengan ketersediaan waktu supervisors sendiri. Bimbingan berlangsung selama satu jam setiap bulannya dan dilakukan dengan dua orang supervisors sekaligus di salah satu ruang kerja mereka. Dalam setiap pertemuan saya selalu memberikan suatu output yang perlu dibahas bersama. Output itu bisa berupa bagian dari chapter, bahan untuk fieldwork, atau hal-hal lain terkait dengan progress penelitian kita.

Setelah bimbingan selesai, saya wajib mengisi formulir bukti bimbingan atau disebut sebagai GRS2. Formulir ini berisi mengenai rangkuman atas pertemuan yang sudah dilakukan dan menjadi bukti bahwa telah terjadi pertemuan untuk membahas progress mahasiswa. Form ini menjadi perhatian bagi pihak imigrasi untuk meyakinkan keaktivan mahasiswa pendatang di Inggris sehingga wajib untuk diisi.

Proses supervisi yang dilakukan oleh kedua supervisor saya agak berbeda satu dengan yang lain. Supervisor utama lebih banyak menanyakan mengenai output yang telah saya kerjakan. Dia akan meminta saya menjelaskan apa yang ditulis, mengapa menulis ini dan itu, apa alasan atau justifikasinya. Selain itu juga dia memberikan masukan-masukan apabila dirasa ada yang kurang tepat. Supervisor kedua lebih kepada banyak memberikan masukan dan perspektif baru atas apa yang saya tulis. Selain itu dia juga seringkali menanyakan hal-hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan.

Bimbingan dari supervisor membuat saya lebih percaya diri dalam menentukan langkah riset berikutnya. Setiap komentar, kritik, maupun pertanyaan mereka selalu membuka perspektif baru yang mungkin sebelumnya tidak saya pikirkan.


Menjadi Mahasiswa, Suami, dan Ayah

Tantangan terbesar bukan hanya soal akademik, tapi juga bagaimana saya menyeimbangkan peran sebagai seorang ayah dari dua anak. Setiap pagi saya harus mengantar anak-anak ke sekolah dengan sepeda, lalu menjemput mereka sore hari. Aktivitas sederhana ini menjadi bagian penting dari rutinitas, sekaligus memberi saya waktu berharga untuk berinteraksi dengan keluarga. Hal-hal ini yang terkadang jarang didapatkan waktu masih bekerja karena seringkali ke luar kota untuk jangka waktu berminggu-minggu.

Selain itu, akhir pekan biasanya saya gunakan untuk jalan-jalan bersama keluarga, menikmati taman kota, berbelanja bersama anak-anak, atau sekedar bermain di garden belakang rumah. Momen-momen ini menjaga keseimbangan hidup, agar kesibukan akademik tidak membuat saya kehilangan kebersamaan dengan orang-orang terdekat.

Menjaga Kesehatan dan Keseimbangan

Agar tidak terlalu tertekan dengan tuntutan studi dan juga tetap fit, saya meluangkan waktu untuk berolahraga, baik bersama teman-teman sesama orang Indonesia dengan bermain badminton maupunn bersepeda keliling kota. Kadang juga bersepeda sendiri. Sebenarnya tinggal di sini kita jadi banyak jalan kaki dan badan terasa lebih sehat. Olahraga ringan ini bukan hanya menyehatkan tubuh, tapi juga membantu saya menjaga semangat, mengurangi stres, dan menjaga pikiran tetap jernih.

Sebagian teman-teman perkumpulan pelajar Indonesia juga suka bermain sepakbola di lapangan kampus. Saya sendiri jarang ikut meskipun sudah membeli sepatu bola. Olah raga yang banyak dilakukan oleh orang-orang Inggris adalah berlari. Meskipun saat winter dengan cuaca yang sangat dingin, tetap ada saja orang yang berlari pagi atau sore hari.

Refleksi: Tentang Perjalanan yang Baru Dimulai

Satu tahun pertama ini mengajarkan saya banyak hal: disiplin, ketekunan, dan kesabaran menghadapi proses panjang yang penuh dinamika. PhD bukanlah lomba lari cepat, melainkan perjalanan maraton yang membutuhkan strategi, konsistensi, dan daya tahan mental. Tantangannya tidak saja mengenai teknis riset kita, tapi juga endurance mental kita untuk menjalaninya. Hal yang paling sulit mungkin adalah bagaimana memaksa diri kita untuk tetap konsisten membuat progress atas pekerjaan riset kita sembari melakukan kegiatan sehari-hari lainnya, terutama bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak-anak.

Saya bersyukur bisa melewati tahun pertama dengan segala suka dukanya. Perjalanan ini masih panjang, tetapi fondasi sudah mulai terbangun. Saya berharap tahun-tahun berikutnya bisa terus produktif, penuh pembelajaran, dan akhirnya membawa saya pada kontribusi nyata melalui riset yang saya jalani sekaligus tetap menjadi ayah dan suami yang hadir untuk keluarga.

Salam,

frochadi

 

frochadi

A policy wonk, auditor, writer, and sketcher.

Post a Comment

Previous Post Next Post